NEW YORK, KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengungkapkan, pertumbuhan jumlah penduduk dunia ternyata lebih tinggi
daripada perkiraan dua tahun lalu. Revisi prediksi pertumbuhan tersebut
memunculkan
pertanyaan soal daya dukung alam dan sejumlah masalah lain.
Dalam
laporan bertajuk ”Prospek Populasi Dunia: Revisi 2012” yang dirilis di
Markas Besar PBB di New York, Amerika Serikat, Jumat (14/6), disebutkan,
penduduk dunia akan naik menjadi 8,1 miliar jiwa pada tahun 2025 dari
jumlah 7,2 miliar jiwa saat ni. Jumlah itu akan terus berkembang menjadi
9,6 miliar pada tahun 2050. Prediksi sebelumnya, penduduk dunia
diperkirakan ”hanya” mencapai 9,3 miliar jiwa pada 2050.
Menurut
laporan terbaru ini, pertumbuhan penduduk paling tinggi akan terjadi di
negara-negara berkembang, dan lebih dari setengah penambahan jumlah
penduduk dunia itu akan terjadi di Afrika. PBB memperkirakan, pada awal
abad depan, populasi penduduk bumi bisa mencapai 16,6 miliar jiwa.
Pertumbuhan penduduk terbesar akan terjadi di negara-negara miskin.
”Meski
pertumbuhan penduduk di dunia secara keseluruhan telah melambat,
laporan ini mengingatkan kita bahwa beberapa negara berkembang, terutama
di Afrika, pertumbuhan penduduknya masih pesat,” kata Asisten
Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial Wu Hongbo, Jumat
(14/6/2013).
Menurut laporan itu, populasi Afrika bisa meningkat
dari 1,1 miliar jiwa pada tahun 2013 menjadi 2,4 miliar jiwa pada tahun
2050, dan berpotensi menjadi 4,2 miliar jiwa pada tahun 2100.
Pertumbuhan populasi yang lebih tinggi dari perkiraan semula itu
memunculkan sejumlah pertanyaan soal daya dukung.
Organisasi World
Population Balance menyatakan, sumber daya yang dimiliki planet Bumi
saat ini idealnya hanya mampu mendukung sekitar 2 miliar orang dengan
standar hidup di Eropa.
Majalah Scientific American pada 27
Oktober 2011 menurunkan laporan yang menyebutkan populasi yang semakin
besar juga membutuhkan sumber daya lebih banyak, mulai dari air, pangan,
mineral, hingga energi dan ketersediaan lahan untuk pertanian.
Direktur
Divisi Populasi pada Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial PBB John
Wilmoth mengatakan, peningkatan populasi memang diproyeksikan akan
menimbulkan tantangan. Namun, tantangan terbesar bukan pada ketersediaan
sumber daya, misalnya bahan pangan.
”Dunia telah sangat
berpengalaman dalam menghadapi pertumbuhan penduduk yang cepat. Populasi
dunia meningkat dua kali lipat antara tahun 1960 dan 2000. (Namun)
suplai pangan dunia juga meningkat lebih dari dua kali lipat pada
periode yang sama,” kata Wilmoth.
Dua ekstrem
Menurut
dia, yang paling mengkhawatirkan adalah munculnya dua kondisi ekstrem.
Di satu sisi, pertumbuhan penduduk cepat di negara-negara miskin.
Sebaliknya, di negara-negara kaya, populasi penduduknya menurun dengan
penduduk yang makin tua.
Jumlah penduduk di negara-negara paling
terbelakang diperkirakan akan naik dua kali lipat dari 898 juta jiwa
tahun ini menjadi sekitar 1,8 miliar jiwa pada tahun 2050. Adapun
populasi negara-negara maju diperkirakan hanya bertambah dari 1,25
miliar pada tahun ini menjadi 1,28 miliar pada tahun 2100.
Wilmoth
mengatakan, untuk mencegah timbulnya masalah itu, yang perlu dihindari
saat ini adalah pertumbuhan cepat karena angka fertilitas terlalu
tinggi, atau penuaan populasi yang cepat karena angka fertilitas terlalu
rendah.
Menurut Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Julianto
Witjaksono, Jumat, saat ini angka fertilitas total (TFR) Indonesia 2,6
dan mengalami stagnasi selama 10 tahun. Target menurunkan TFR pada tahun
2015 menjadi 2,1 tidak tercapai.
Menurut Julianto, target
penurunan TFR itu akan disesuaikan secara bertahap, yakni 2,3 pada tahun
2015; 2,2 pada tahun 2020; dan 2,1 pada tahun 2025. Jika target
tercapai, penduduk Indonesia diproyeksikan menjadi 281,5 juta pada tahun
2025 dan 330 juta jiwa pada tahun 2050.
Jika target tidak
tercapai, jumlah penduduk Indonesia akan meledak dan menjadi beban
perekonomian. Anggaran negara akan banyak terserap untuk penyediaan
pangan dan layanan pendidikan dan kesehatan.
Terkait ketahanan
pangan Indonesia, Deputy Country Director Oxfam Aloy Suratin mengatakan,
Indonesia memiliki potensi untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya
sendiri secara swasembada.
Tantangan yang dihadapi Indonesia
terutama pada ketersediaan lahan dan risiko dalam proses produksi
pangan. Di samping itu, pangan lokal juga harus menjadi strategi utama
dari swasembada pangan.(AP/AFP/JOS/ATK/ISW/DHF)